Rindu, dan Bukan Lagi Milikku
Seandainya
melupakanmu semudah itu, mungkin sudah dari dulu Aku bahagia. Entah berapa hati
yang Ku tolak, padahal mereka datang dengan cinta yang baik. Tetap saja
adiksiku masih saja Kamu, tetap kentara dan masih sangat sempurna.
Coba Kau lihat
sejenak, ada sepotong hati yang kini beku sejak Kau tinggalkan tiga tahun yang
lalu. Seandainya Kau tau jika hati itu kini telah menolak ribuan hati, yah itu
semua karenamu yang sulit untuk dilupakan.
Kini Kau punya
Dia, tapi kenapa Kau masih saja menginginkan Aku. Teman katamu, apakah Kau
waras menginginkan kita menjadi teman setelah Kau sebelumnya sempat menjadi
kekasihku. Mungkin Kau bisa menganggapku sebatas teman, tapi bagaimana
denganku? Tidak, Aku tidak bisa.
Pernahkah Kau tau,
saat ini aku merindukanmu. Kekasih milik laki-laki lain, itu yang membuatku
mundur jauh kebelakang hingga tak terlihat lagi. Saat pesanmu muncul, Aku berpura-pura menjadi
lain untuk sekedar memahamimu. Pada dasarnya Aku menyimpan rindu yang berusaha kusimpan
disetiap obrolan singkat yang sesekali muncul, meskipun itu hanya satu atau dua
kata bahkan bisa jadi sebuah pesan yang tak pantas disebut percakapan.
Pesan Yang Selalu Sama
Sore itu, Aku
tak menyangka jika lagi-lagi Kau menginginkan pertemuan denganku. Pesan yang
selalu sama Kau kirim membuat hatiku memberontak agar segera meng-Iyakannya.
Tapi Kau harus paham, jika sore itu tekatku lebih kuat untuk bisa lepas darimu.
Seperti biasa
sore itu Aku keluar ke sebuah caffe, notebook berukuran 10 inci selalu
menemaniku dia selalu setia mencatat seluruh keluhan apa saja yang ada dihati.
Satu gelas kopi panas ekstra susu yang selalu ku pesan menambah daya
imajinasiku untuk menyalurkan hobi menulisku.
Aku duduk
dengan tangan bermain dikeyboard notebookku, menuangkan bait demi bait kalimat
pelepas kenangan, tanganku mengambil ponsel yang ada disaku celanaku membuka
pesan dari gadis masa lalu yang Dia
kirimkan beberapa saat yang lalu. Ku hela nafas sepanjang mungkin dan
mengeluarkan dengan perlahan, dan kembali memasukkan ponselkku kedalam saku.
Mataku kembali menatap layar notebook, pikirankku menerawang jauh hingga
mencapai kenangan dimasa lalu.
“Jika Aku bisa
memilikimu lagi, mungkin Aku manusia yang paling bahagia sekarang”. Gumamku
dengan kesedihan mendalam.
Sekali lagi
tanganku mengambil ponsel yang ada disaku celana, dan membuka pesan yang selalu
ku lihat berkali-kali sejak tadi. Ku hapus pesan itu dengan berat hati agar ku
tak semakin terlukai dengan pesan yang selalu sama itu.
“Hei, Bara lo
disini juga” Sapa Jodi padaku.
“Eh, Jodi. Iya
Di biasalah.” Jawabku menyambutnya.
“Gue duduk di sini
ya? Gak papakan?”.
“Ya gak papalah,
malah seneng gue ada temennya” Jawabku.
“Tulisan yang
lo posting bulan lalu keren Bar, Gue sampek terbawa suasana bacannya” Ungkap
Jodi menanggapi tulisan yang ku posting di blog pribadiku bulan lalu.
“Makasih Di lo
udah mau baca” Jawabku dengan tersenyum
“Kenapa gak lo
kirim aja kepenerbit, majalah, atau kemana kek. Gue yakin pasti diterima” Saran Jodi padaku.
“Ah, buat apa,
Gue nulis beginian Cuma untuk menyalurkan hobi aja kok Di. Gue lihat banyak
yang suka aja udah seneng” Jawabku.
“Tapi kan
sayang Bar, oh iya ngomong-ngomong ini kisah nyata yang lo tulis Bar?” Tiba-tiba Jodi bertanya tentang tulisanku.
“(Aku hanya
tersenyum)”.
“Miris amat Bar
hidup lo” Jawab Jodi melihatku dengan wajah ibah.
“Ah, biasa aja
Di” Jawabku dengan tertawa.
Mereka tertawa
berbarengan, senda gurau sore itu sejenak dapat melupakan kesedihan yang
dirasakan.
“Bar, aku pergi
duluan ya? Aku ada janji dengan pacarku” Jodi pamit untuk pergi.
“Iya Di”.
“Good luck,
buat tulisanmu. Semoga menemukan pengganti” Ejek Jodi padaku dan aku hanya
tertawa melihatnya.
Suasanapun
semakin sepi, ku lihat waktupun semakin menuju malam. Aku segera mematikan
notebookku dan memasukkannya kedalam tas, aku segera pulang.
Nada Dering Pesan Itu Aku Benci
Hampir setiap
menitnya kita selalu meluangkan waktu untuk saling memberi kabar. Kau selalu
cemas jika Aku tak memberi kabar meskipun itu hanya setengah hari, Aku juga
sama. Kabar darimu saat itu sudah menjadi kebutuhan hidupku, jika tidak Aku
merasa ada yang kurang dan Aku merasa ingin mati. Kira-kira seperti itulah.
Aku ingat
betul, nada pesan singkatku waktu itu. Nadanya sangat singkat dan sederhana,
tapi nada itu sudah ku anggap sangat penting. Bertahun-tahun nada itu ku
dengar, bertahun-tahun aku merasa selalu bersamamu. Nada itu ku anggap isyarat
bahwa Kau ada, bahwa pesan rindumu telah sampai kepadaku. Aku sangat bahagia
jika nada itu berdering, Aku merasa kau hadir, Kau ada didekatku, Aku merasa Kau
milikku sepenuhnya.
Kini semua
telah berbanding terbalik, nada-nada itu telah lenyap. Bahkan Aku tak ingin
mendengarnya lagi. Aku selalu marah jika ada ponsel lain yang menggunakan nada itu
dan terdengar ditelingaku, Aku benci nada itu. Saat ini aku egois. Aku tak
ingin mengingatmu yang tak bisa ku miliki, bahwa sebenarnya Aku sangat merindukanmu. Aku ingin bersamamu lagi, Aku ingin dan sangat ingin. Tapi
bagaimana dengan Dia? Itu yang kini
menjadi alasanku tak lagi memperjuangkanmu.
Pertemuan Pertama Setelah Sekian Lama
Sekitar pukul
9:45 kira-kira saat itu, Aku mengendarai sepeda motorku dengan perlahan. Aku
rasa saat itu Aku tidak akan terlambat masih ada waktu 20 menit lagi jam kuliah
dimulai. Saat Aku akan segera sampai tiba-tiba Aku berpaspasan dengan seseorang
yang Aku rasa Aku sangat mengenalnya. Yah, Aku memang mengenalnya. Dia Gadis
itu, Aku terkejut sangat-sangat terkejut. Jantungku berdetak kencang, Dia
tersenyum melihatku. Saat itu aku tak tau harus bagaimana, apakah Aku harus
membalas senyumannya atau tidak. Akan tetapi kejadian itu sangat singkat, kami
sama-sama sedang mengendarai sepeda motor dan saling melewati dengan arah yang
saling bertolak belakang.
Aku segera parkirkan
sepeda motorku, setelah kulangkahkan kakiku beberapa jengkal meninggalkan
parkiran ponselku bergetar, segera ku ambil ponselku yang ada disaku celanaku
dan segera ku baca.
“Selesai kuliah
Aku tunggu kamu di aula kampus”. Tiba-tiba Gadis itu mengirim pesan singkat
padaku.
Aku tak
membalasnya, tapi mataku tak henti melihat pesan singkat yang dikirim Gadis
itu. Ku baca bekali-kali berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa pesan itu
nyata. Aku segera masuk kedalam gedung kampus menuju ruang kelasku. Sepanjang mata
kuliah berlangsung aku merenungi pesan singkat dari Gadis itu hingga mata
kuliah selesai, aku terkejut teman sebelahku menepuk pundakku bermaksut memberi
tahu bahwa kuliah telah selesai. Aku segera menuju parkiran mengambil sepeda
motorku dan menuju aula, ku lihat seorang gadis duduk sendirian di pinggir
mimbar aula yang sangat luas. Ku langkahkan kakiku memberanikan diri untuk
menghampiri.
”Uuu..uudah
lama di sini?” Tanyaku gugup.
“Lumayan” Jawab Gadis itu singkat.
“Ada apa Kamu
suruh aku ke sini?” Tanyaku.
“Gak ada
apa-apa” Jawab gadis itu membuat aku bingung dengan jawabannya atas
pertanyaanku.
“Terus?” Tanyaku.
“Kenapa? Aku
gak boleh ketemu kamu” Jawab gadis itu.
Yaa Tuhannnn,
jantungku berdetak sangat kencang. Aku tak bisa menjawab apapun atas
pertanyaannya. Aku ingin, bahkan berharap bahwa moment ini tak segera berlalu.
Aku ingin berlama-lama bersamanya meskipun tak saling bicara, tak apa. Hampir
15 menit kami saling diam menghabiskan waktu di aula terbuka dengan hembusan
angin sore itu dan kebetulan keberadaan aula yang bersebelahan dengan danau
buatan yang dikelilingi pepohonan.
Lagi-lagi suara
ponsel berdering, dan itu suara nada pesan. Kali ini itu bukan nada
ponselku. Saat Gadis itu membuka pesan
mataku tak sengaja membacanya kebetulan Aku duduk bersebelahan dengannya,
disitu tertulis; “Kamu dimana sayang?” From: boyfriend.
”Aku duluan ya,
gak papakan kamu Aku tinggal?” Pamitku langsung pergi tanpa persetujuan dari
Gadis itu.
“ Tunggu” Ucap
Gadis itu.
Aku menoleh.
“Kamu kenapa?” Ucap Gadis itu lagi.
“ Eng..gak aku
gak papa”.
“kamu marah?” Tanya gadis itu.
“Siapa yang
marah? Aku gak marah”.
“Aku tau, kamu
marah gara-gara ini kan?” Ucap gadis itu sambil menunjukkan isi pesan yang
yang diterimanya tadi dihadapanku.
“Enggak, buat
apa Aku marah? Jawabku mengelak,
“ Kamu gak
marah, tapi kamu cemburukan?” Tegasnya.
Aku diam saja
dan pergi meninggalkan gadis itu.
Jika rasa
cemburu itu wajar dalam suatu hubungan, lantas apa hakku merasa cemburu
dengannya yang diantara Aku dan Dia tak memiliki hubungan apapun. Itu yang
membuatku tak perlu menjelaskan apapun padanya. Yang ku tau dia punya manusia
lain dan Aku bukan siap-siapa dan bukan apa-apa buatnya.
Aku Tau Kamu Online
Terkadang
status dalam sosial media adalah gambaran tentang keadaan yang sedang dirasakan
setiap orang. Kadang kala atau bisa jadi mereka ingin seseorang peka dengan
status yang mereka buat tanpa harus mereka katakan secara langsung. Itu yang
sedang Aku rasakan kini, hari ini Aku membuat status sebanyak mungkin agar Kau
peka apa maksutku. Aku berharap kau mengerti keadaanku saat ini. Tapi tetap
saja Kau berpura-pura tak melihatnya, bahkan Kau malah mengabaikannya. Aku tau
kau sedang online, sistem itu tak mungkin memanipulasi. Kau kejam, kau pandai
berpura-pura terlihat seperti sudah tak lagi memperdulikanku. Apa memang kau
benar-benar sudah tidak peduli? Hanya dengan status itu Aku berani bicara
padamu, sungguh itu benar isi hatiku yang sesungguhnya.
Aku sangat
bahagia saat kau merespon statusku meski itu satu dari ratusan status yang ku
buat, aku merasa itu sudah cukup. Tapi satu yang membuat Aku sangat patah, Kau
mengatakan hal yang menghancurkan hati ini Kau bilang Aku hanya mencari
perhatian saja. Kau sering kali mematahkan harapanku, mengatakan sebait
kata-kata yang tak pernah mau kubaca. Ketahuilah bahwa sepotong ucapanmu selalu
memiliki 2 kesan buatku, kesan yang membahagiakan untukku dan bisa jadi malah
melukaiku.
Tanganku sering
kali hampir tak terkendali ingin membalas status yang Kau buat, Aku tau saat
itu Kau sedang bersedih. Aku ingin menguatkanmu seperti dulu, yang selalu
mengatakan “Kamu kenapa? Coba cerita sama Aku” dan Kamu selalu menceritakan
segala yang kamu rasakan. Begitulah dulu kita saling melengkapi. Tapi saat ini
Aku hanya bisa melihat Kamu dari dunia yang tak nyata, berdoa agar kau selalu
kuat dan bahagia dalam kehidupanmu bersama Dia. Kini aku hanya bisa memastikan
keadaanmu lewat sosial media dimana hanya dengan itu kita bisa memastikan kabar
masing-masing, disitu pula Aku merasa Kau ada Kau berada didekatku. Yang harus
Kau tau, Aku tak pernah mengirim chat padamu bukan berarti aku tak
perduli denganmu hanya saja Aku sedang menyadarkan diri bahwa Aku tak lagi
siap-siapamu. Aku selalu memastikan kabarmu dari sosial media yang menjadi
satu-satunya tempat Aku bisa melihatmu baik-baik saja.
Hujan Sore Itu
Sore itu gedung
kampusku begitu padatnya, semua sibuk mengejar UAS. begitu juga denganku, sore
itu hari terakhir UAS. pukul 17:30 semua UAS ku selesai, Aku duduk bersama
teman-temanku di lobi kampus menikmati sore itu sambil menunggu hujan redah.
Terjebak hujan.
“ Nanti pulang
bareng ya. Bisa?” Tiba-tiba1 pesan masuk diponselku.
“Bisa” Dengan spontan aku membalasanya.
“Jam berapa
keluar kampus?” Tanya gadis itu.
“Ini udah
keluar” Jawabku.
“Yaudah pulang
yok!” Ajaknya
“ Tapi ini
masih hujan” Balasku.
“Gak papa,
kalau nunggu hujan entar kemalaman” Jawabnya.
“Nanti kamu
sakit?”.
“Enggak,
sekali-kalikan gak papa kita hujan-hujannan”.
Aku pun segera
menerjang hujan untuk menjemputnya, seolah-olah Aku tidak sabar bertemu
dengannya. Kenyataannya, jantung ini berdebar tidak karuan. Gugup setengah mati
yang kurasa saat ingin menemuinya. Tapi ku tepis itu semua demi dirinya.
“Ki..kita
pulang sekarang” Aku bertanya sekali lagi saat Aku sampai ditempatnya.
“Jadi?”.
“Kamu gak papa
kehujanan” Jawabku.
“Enggak, Aku kuat
kok. Kamu selalu nyepelein Aku dari dulu” Jawabnya.
“Tapi...”.
“Udah ayokkk!’ Jawabnya langsung naik kesepeda motorku.
Tanpa
buang-buang waktu Aku langsung melajukan sepeda motorku. Hujan semakin deras, Aku
membawa sepeda motorku dengan perlahan. Berkali-kali aku bertanya apakah Dia
baik-baik saja dan Dia selalu bilang baik. Sore itu Aku sangat bahagia bisa
bersamanya, meskipun tak banyak kalimat yang kami keluarkan tapi aku merasa sore
itu sangat istimewa. Aku berharap waktu tak segera berlalu dan hujan tak segera
redah. Meskipun begitu Aku tetap merasa cemas, Aku takut dia jatuh sakit. Tapi
semua sudah terlanjur basah berteduhpun tak berguna lagi. Aku tau dia kuat, dia
tak akan kenapa-kenapa.
Entah kenapa
setiap bersama, kami lebih banyak diam. Aku tak mengerti, entah itu diantara
kami memang tak ada yang berani memulai pembicaraan atau mungkin diantara kami
tak ada yang perlu dibahas lagi. Entah seberapa besar dosaku sore itu, Aku bersama
kekasih orang lain. Tapi Aku tak ingin membohongi hati bahwa Aku masih
mengharapkannya.
Pertemuan Selanjutnya...
Aku terkejut
saat tiba-tiba sore itu pesannya masuk diponselku, ntah yang keberapa kali Dia
mengajakku bertemu dan Aku selalu saja punya alasan untuk menolaknya perlahan.
Dan ntah kenapa juga sore itu tiba-tiba Aku spontan mengiyakannya, setelah
bernegosiasi masalah tempat dan lainnya akhirnya kami memutuskan malam harinya
bertemu. Sepanjang jalan kami mengobrol seperti tak terjadi apa-apa, mungkin
karena saat itu posisiku sedang membocengnya sehingga wajah kami tidak
berhadapan. Aku tak mengerti kenapa Aku selalu gugup jika melihatnya,
seolah-olah Aku tak berdaya saat melihat wajahnya. Akhirnya obrolan itu
berakhir saat sepeda motorku berhenti disebuah cafe tempat tujuan kami
akan menghabiskan waktu malam itu.
Dia memilih
tempat dan memesankan makanan, kami mulai duduk. Saat itulah Aku mulai
merasakan hal yang tak pernah Aku inginkan, Aku benci saat Aku berhadapan
dengannya jantungku seakan tak mau tenang. Mataku tak berani menatap meskipun
sekejab, Kau tau ini alasanku tak berani berlama-lama didekatmu, jantungku
selalu bermasalah didekatmu dia seakan tak mau tenang berdetak didalam dada.
Aku hanya bisa
diam tak menatap tapi aku berfikir Aku tak boleh terus begitu, Aku memberanikan
diri memulai sebuah obrolan. Gugup memang, tapi ku coba terus dan akhirnya
perlahan obrolan mulai lancar tapi tetap saja mata ini tak bergerak melihat.
”Cukup susah
untuk sekedar bertemu “. Ucapnya memulai obrolan.
Saat itu aku
bingung harus berkata apa, Aku tak punya jawaban apapun. Apa yang diucapnya
semua benar.
“Sekarangkan
sudah ketemu”. Jawabku.
“Ia memang,
tapi butuh proses yang panjang”. Jawabnya.
Lagi-lagi yang
ku lakukan hanya diam. Ntah kenapa berbicara dihadapannya sangat sulit, apalagi
menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhananya yang bagiku itu adalah pertanyaan
tersulit yang pernah kuterima. Dia terus saja memulai pembicaraan seolah Dia
mengerti apa yang Aku rasa saat itu, dan benar lama-lama Aku terbiasa sedikit
demi sedikit jantungku mulai normal berdetak. Kami terus saja mengobrol, entah
berbagai tema apa yang sudah kami bahas dan tetap saja mata ini tak berani
melihatnya. Malampun semakin larut rasa nyaman mulai timbul tapi seakan waktu
mengganggu dengan putaran waktu yang seolah-olah disengajanya untuk menyudahi
obrolan saat itu. Dengan berat hati kami harus pulang, meskipun Aku sangat
ingin berlama-lama saat itu. Sepanjang jalan pulang Aku masih tidak percaya
tentang apa yang terjadi hari ini, aku merasa ini hanya mimpi.
Apa ini?
Bertahun-tahun Aku berusaha agar Aku bisa terlepas dari fikiran tentang Dia.
Bertahun-tahun Aku membuat jarak sejauh mungkin untuk terbebas dari fikiran
tentang Dia. Tapi malam ini semua hancur, apa yang terjadi denganku? Sekejab
saja luntur semua ambisiku. Ini salah, iya ini salah.
Aku Rasa ini Sudah Cukup
Aku rasa ini
sudah cukup, Aku tak bisa terus dekat dengannya. Aku sadar ini salah, Dia punya
orang lain. Ada apa denganku?
Aku mengerti
dialah orang yang sama sejak awal, Aku tak berani mengungkapkan semuannya. Ini
semua sudah berakhir sejak lama, tak boleh terulang.
“Bar, ada kabar
baik ni” Tiba-tiba Jodi menghampiriku yang sedang duduk di luar ruang Dekan.
“Kabar apa
Di?” Jawabku.
“Ni surat dari
akademik” Tiba-tiba Jodi memberi sebuah surat padaku.
Aku
membukannya.
“Ini beneran
DI?” Tanyaku tidak percaya saat melihat isi surat yang berisi pemberitahuan
wisuda di bulan depan.
“Ya benerlah”.
“Alhamdulillah” Aku bersyukur.
Siang itu tak
bisa ku gambarkan betapa bahagianya Aku, seaakan 4 tahun yang kulewati terbayar
sudah. Hari itu Aku berfikir mungkin inilah saatnya Aku terbebas sepenuhnya
dari Gadis itu, Aku sengaja tak memberitahunya karena Aku rasa itu tidak perlu.
Aku ingin pergi jauh, dan membiarkan Dia bahagia bersama orang itu yang kini
menjadi pasangannya.
Berat memang,
tapi Aku tak kalah kuat. Hingga selesai wisudahku Aku sengaja tak memposting
foto apapun di media sosialku. Aku sengaja agar seperti tak terjadi apa-apa,
kenyataannya ini bukan hal yang mudah saat Aku sedang berproses untuk
melupakannya pesan-pesan singkatnya terus saja menghujani ponselku bahkan
sesekali Dia menelfonku. Butuh kekuatan batin yang luar biasa untukku
mengabaikan semua pesannnya.
Dan akhirnya, Aku
ditawari bekerja ditempat yang jauh darinya. Tanpa berfikir panjang langsung
menerimanya. Aku berharap aku segera bisa melupakannya, ini memang tak mudah
untukku. Biarlah pertemuan-pertemuan sebelumnya ku jadikan sebagai kenangan indah
yang pernah terjadi diantara kita. Saat ini giliran Tuhan yang menentukan
takdir apa yang akan terjadi pada kita.