Rabu, 07 Februari 2018

"Pesan Singkat & Pertemuan"

Rindu, dan Bukan Lagi Milikku

Seandainya melupakanmu semudah itu, mungkin sudah dari dulu Aku bahagia. Entah berapa hati yang Ku tolak, padahal mereka datang dengan cinta yang baik. Tetap saja adiksiku masih saja Kamu, tetap kentara dan masih sangat sempurna.
Coba Kau lihat sejenak, ada sepotong hati yang kini beku sejak Kau tinggalkan tiga tahun yang lalu. Seandainya Kau tau jika hati itu kini telah menolak ribuan hati, yah itu semua karenamu yang sulit untuk dilupakan.
Kini Kau punya Dia, tapi kenapa Kau masih saja menginginkan Aku. Teman katamu, apakah Kau waras menginginkan kita menjadi teman setelah Kau sebelumnya sempat menjadi kekasihku. Mungkin Kau bisa menganggapku sebatas teman, tapi bagaimana denganku? Tidak, Aku tidak bisa.
Pernahkah Kau tau, saat ini aku merindukanmu. Kekasih milik laki-laki lain, itu yang membuatku mundur jauh kebelakang hingga tak terlihat lagi.  Saat pesanmu muncul, Aku berpura-pura menjadi lain untuk sekedar memahamimu. Pada dasarnya Aku menyimpan rindu yang berusaha kusimpan disetiap obrolan singkat yang sesekali muncul, meskipun itu hanya satu atau dua kata bahkan bisa jadi sebuah pesan yang tak pantas disebut percakapan.

Pesan Yang Selalu Sama

Sore itu, Aku tak menyangka jika lagi-lagi Kau menginginkan pertemuan denganku. Pesan yang selalu sama Kau kirim membuat hatiku memberontak agar segera meng-Iyakannya. Tapi Kau harus paham, jika sore itu tekatku lebih kuat untuk bisa lepas darimu.
Seperti biasa sore itu Aku keluar ke sebuah caffe, notebook berukuran 10 inci selalu menemaniku dia selalu setia mencatat seluruh keluhan apa saja yang ada dihati. Satu gelas kopi panas ekstra susu yang selalu ku pesan menambah daya imajinasiku untuk menyalurkan hobi menulisku.
Aku duduk dengan tangan bermain dikeyboard notebookku, menuangkan bait demi bait kalimat pelepas kenangan, tanganku mengambil ponsel yang ada disaku celanaku membuka pesan dari gadis masa lalu yang Dia  kirimkan beberapa saat yang lalu. Ku hela nafas sepanjang mungkin dan mengeluarkan dengan perlahan, dan kembali memasukkan ponselkku kedalam saku. Mataku kembali menatap layar notebook, pikirankku menerawang jauh hingga mencapai kenangan dimasa lalu.
“Jika Aku bisa memilikimu lagi, mungkin Aku manusia yang paling bahagia sekarang”. Gumamku dengan kesedihan mendalam.
Sekali lagi tanganku mengambil ponsel yang ada disaku celana, dan membuka pesan yang selalu ku lihat berkali-kali sejak tadi. Ku hapus pesan itu dengan berat hati agar ku tak semakin terlukai dengan pesan yang selalu sama itu.
“Hei, Bara lo disini juga” Sapa Jodi padaku.
“Eh, Jodi. Iya Di biasalah.” Jawabku menyambutnya.
“Gue duduk di sini ya? Gak papakan?”.
“Ya gak papalah, malah seneng gue ada temennya” Jawabku.
“Tulisan yang lo posting bulan lalu keren Bar, Gue sampek terbawa suasana bacannya” Ungkap Jodi menanggapi tulisan yang ku posting di blog pribadiku bulan lalu.
“Makasih Di lo udah mau baca” Jawabku dengan tersenyum
“Kenapa gak lo kirim aja kepenerbit, majalah, atau kemana kek. Gue yakin pasti diterima” Saran Jodi padaku.
“Ah, buat apa, Gue nulis beginian Cuma untuk menyalurkan hobi aja kok Di. Gue lihat banyak yang suka aja udah seneng” Jawabku.
“Tapi kan sayang Bar, oh iya ngomong-ngomong ini kisah nyata yang lo tulis Bar?” Tiba-tiba Jodi bertanya tentang tulisanku.
“(Aku hanya tersenyum)”.
“Miris amat Bar hidup lo” Jawab Jodi melihatku dengan wajah ibah.
“Ah, biasa aja Di”  Jawabku dengan tertawa.
Mereka tertawa berbarengan, senda gurau sore itu sejenak dapat melupakan kesedihan yang dirasakan.
“Bar, aku pergi duluan ya? Aku ada janji dengan pacarku” Jodi pamit untuk pergi.
“Iya Di”.
“Good luck, buat tulisanmu. Semoga menemukan pengganti” Ejek Jodi padaku dan aku hanya tertawa melihatnya.
Suasanapun semakin sepi, ku lihat waktupun semakin menuju malam. Aku segera mematikan notebookku dan memasukkannya kedalam tas, aku segera pulang.


Nada Dering Pesan Itu Aku Benci

Hampir setiap menitnya kita selalu meluangkan waktu untuk saling memberi kabar. Kau selalu cemas jika Aku tak memberi kabar meskipun itu hanya setengah hari, Aku juga sama. Kabar darimu saat itu sudah menjadi kebutuhan hidupku, jika tidak Aku merasa ada yang kurang dan Aku merasa ingin mati. Kira-kira seperti itulah.
Aku ingat betul, nada pesan singkatku waktu itu. Nadanya sangat singkat dan sederhana, tapi nada itu sudah ku anggap sangat penting. Bertahun-tahun nada itu ku dengar, bertahun-tahun aku merasa selalu bersamamu. Nada itu ku anggap isyarat bahwa Kau ada, bahwa pesan rindumu telah sampai kepadaku. Aku sangat bahagia jika nada itu berdering, Aku merasa kau hadir, Kau ada didekatku, Aku merasa Kau milikku sepenuhnya.
Kini semua telah berbanding terbalik, nada-nada itu telah lenyap. Bahkan Aku tak ingin mendengarnya lagi. Aku selalu marah jika ada ponsel lain yang menggunakan nada itu dan terdengar ditelingaku, Aku benci nada itu. Saat ini aku egois. Aku tak ingin mengingatmu yang tak bisa ku miliki, bahwa sebenarnya Aku sangat merindukanmu. Aku ingin bersamamu lagi, Aku ingin dan sangat ingin. Tapi bagaimana dengan Dia?  Itu yang kini menjadi alasanku tak lagi memperjuangkanmu.


Pertemuan Pertama Setelah Sekian Lama

Sekitar pukul 9:45 kira-kira saat itu, Aku mengendarai sepeda motorku dengan perlahan. Aku rasa saat itu Aku tidak akan terlambat masih ada waktu 20 menit lagi jam kuliah dimulai. Saat Aku akan segera sampai tiba-tiba Aku berpaspasan dengan seseorang yang Aku rasa Aku sangat mengenalnya. Yah, Aku memang mengenalnya. Dia Gadis itu, Aku terkejut sangat-sangat terkejut. Jantungku berdetak kencang, Dia tersenyum melihatku. Saat itu aku tak tau harus bagaimana, apakah Aku harus membalas senyumannya atau tidak. Akan tetapi kejadian itu sangat singkat, kami sama-sama sedang mengendarai sepeda motor dan saling melewati dengan arah yang saling bertolak belakang.
Aku segera parkirkan sepeda motorku, setelah kulangkahkan kakiku beberapa jengkal meninggalkan parkiran ponselku bergetar, segera ku ambil ponselku yang ada disaku celanaku dan segera ku baca.
“Selesai kuliah Aku tunggu kamu di aula kampus”. Tiba-tiba Gadis itu mengirim pesan singkat padaku.
Aku tak membalasnya, tapi mataku tak henti melihat pesan singkat yang dikirim Gadis itu. Ku baca bekali-kali berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa pesan itu nyata. Aku segera masuk kedalam gedung kampus menuju ruang kelasku. Sepanjang mata kuliah berlangsung aku merenungi pesan singkat dari Gadis itu hingga mata kuliah selesai, aku terkejut teman sebelahku menepuk pundakku bermaksut memberi tahu bahwa kuliah telah selesai. Aku segera menuju parkiran mengambil sepeda motorku dan menuju aula, ku lihat seorang gadis duduk sendirian di pinggir mimbar aula yang sangat luas. Ku langkahkan kakiku memberanikan diri untuk menghampiri.
”Uuu..uudah lama di sini?” Tanyaku gugup.
“Lumayan” Jawab Gadis itu singkat.
“Ada apa Kamu suruh aku ke sini?” Tanyaku.
“Gak ada apa-apa” Jawab gadis itu membuat aku bingung dengan jawabannya atas pertanyaanku.
“Terus?” Tanyaku.
“Kenapa? Aku gak boleh ketemu kamu” Jawab gadis itu.
Yaa Tuhannnn, jantungku berdetak sangat kencang. Aku tak bisa menjawab apapun atas pertanyaannya. Aku ingin, bahkan berharap bahwa moment ini tak segera berlalu. Aku ingin berlama-lama bersamanya meskipun tak saling bicara, tak apa. Hampir 15 menit kami saling diam menghabiskan waktu di aula terbuka dengan hembusan angin sore itu dan kebetulan keberadaan aula yang bersebelahan dengan danau buatan yang dikelilingi pepohonan.
Lagi-lagi suara ponsel berdering, dan itu suara nada pesan. Kali ini itu bukan nada ponselku.  Saat Gadis itu membuka pesan mataku tak sengaja membacanya kebetulan Aku duduk bersebelahan dengannya, disitu tertulis; “Kamu dimana sayang?” From: boyfriend.
”Aku duluan ya, gak papakan kamu Aku tinggal?” Pamitku langsung pergi tanpa persetujuan dari Gadis itu.
“ Tunggu” Ucap Gadis itu.
Aku menoleh.
“Kamu kenapa?” Ucap Gadis itu lagi.
“ Eng..gak aku gak papa”.
“kamu marah?” Tanya gadis itu.
“Siapa yang marah? Aku gak marah”.
“Aku tau, kamu marah gara-gara ini kan?” Ucap gadis itu sambil menunjukkan isi pesan yang yang diterimanya tadi dihadapanku.
“Enggak, buat apa Aku marah? Jawabku mengelak,
“ Kamu gak marah, tapi kamu cemburukan?” Tegasnya.
Aku diam saja dan pergi meninggalkan gadis itu.
Jika rasa cemburu itu wajar dalam suatu hubungan, lantas apa hakku merasa cemburu dengannya yang diantara Aku dan Dia tak memiliki hubungan apapun. Itu yang membuatku tak perlu menjelaskan apapun padanya. Yang ku tau dia punya manusia lain dan Aku bukan siap-siapa dan bukan apa-apa buatnya.


Aku Tau Kamu Online

Terkadang status dalam sosial media adalah gambaran tentang keadaan yang sedang dirasakan setiap orang. Kadang kala atau bisa jadi mereka ingin seseorang peka dengan status yang mereka buat tanpa harus mereka katakan secara langsung. Itu yang sedang Aku rasakan kini, hari ini Aku membuat status sebanyak mungkin agar Kau peka apa maksutku. Aku berharap kau mengerti keadaanku saat ini. Tapi tetap saja Kau berpura-pura tak melihatnya, bahkan Kau malah mengabaikannya. Aku tau kau sedang online, sistem itu tak mungkin memanipulasi. Kau kejam, kau pandai berpura-pura terlihat seperti sudah tak lagi memperdulikanku. Apa memang kau benar-benar sudah tidak peduli? Hanya dengan status itu Aku berani bicara padamu, sungguh itu benar isi hatiku yang sesungguhnya.
Aku sangat bahagia saat kau merespon statusku meski itu satu dari ratusan status yang ku buat, aku merasa itu sudah cukup. Tapi satu yang membuat Aku sangat patah, Kau mengatakan hal yang menghancurkan hati ini Kau bilang Aku hanya mencari perhatian saja. Kau sering kali mematahkan harapanku, mengatakan sebait kata-kata yang tak pernah mau kubaca. Ketahuilah bahwa sepotong ucapanmu selalu memiliki 2 kesan buatku, kesan yang membahagiakan untukku dan bisa jadi malah melukaiku.
Tanganku sering kali hampir tak terkendali ingin membalas status yang Kau buat, Aku tau saat itu Kau sedang bersedih. Aku ingin menguatkanmu seperti dulu, yang selalu mengatakan “Kamu kenapa? Coba cerita sama Aku” dan Kamu selalu menceritakan segala yang kamu rasakan. Begitulah dulu kita saling melengkapi. Tapi saat ini Aku hanya bisa melihat Kamu dari dunia yang tak nyata, berdoa agar kau selalu kuat dan bahagia dalam kehidupanmu bersama Dia. Kini aku hanya bisa memastikan keadaanmu lewat sosial media dimana hanya dengan itu kita bisa memastikan kabar masing-masing, disitu pula Aku merasa Kau ada Kau berada didekatku. Yang harus Kau tau, Aku tak pernah mengirim chat padamu bukan berarti aku tak perduli denganmu hanya saja Aku sedang menyadarkan diri bahwa Aku tak lagi siap-siapamu. Aku selalu memastikan kabarmu dari sosial media yang menjadi satu-satunya tempat Aku bisa melihatmu baik-baik saja.

Hujan Sore Itu

Sore itu gedung kampusku begitu padatnya, semua sibuk mengejar UAS. begitu juga denganku, sore itu hari terakhir UAS. pukul 17:30 semua UAS ku selesai, Aku duduk bersama teman-temanku di lobi kampus menikmati sore itu sambil menunggu hujan redah. Terjebak hujan.
“ Nanti pulang bareng ya. Bisa?” Tiba-tiba1 pesan masuk diponselku.
“Bisa” Dengan spontan aku membalasanya.
“Jam berapa keluar kampus?” Tanya gadis itu.
“Ini udah keluar” Jawabku.
“Yaudah pulang yok!” Ajaknya
“ Tapi ini masih hujan” Balasku.
“Gak papa, kalau nunggu hujan entar kemalaman” Jawabnya.
“Nanti kamu sakit?”.
“Enggak, sekali-kalikan gak papa kita hujan-hujannan”.
Aku pun segera menerjang hujan untuk menjemputnya, seolah-olah Aku tidak sabar bertemu dengannya. Kenyataannya, jantung ini berdebar tidak karuan. Gugup setengah mati yang kurasa saat ingin menemuinya. Tapi ku tepis itu semua demi dirinya.
“Ki..kita pulang sekarang” Aku bertanya sekali lagi saat Aku sampai ditempatnya.
“Jadi?”.
“Kamu gak papa kehujanan” Jawabku.
“Enggak, Aku kuat kok. Kamu selalu nyepelein Aku dari dulu” Jawabnya.
“Tapi...”.
“Udah ayokkk!’ Jawabnya langsung naik kesepeda motorku.
Tanpa buang-buang waktu Aku langsung melajukan sepeda motorku. Hujan semakin deras, Aku membawa sepeda motorku dengan perlahan. Berkali-kali aku bertanya apakah Dia baik-baik saja dan Dia selalu bilang baik. Sore itu Aku sangat bahagia bisa bersamanya, meskipun tak banyak kalimat yang kami keluarkan tapi aku merasa sore itu sangat istimewa. Aku berharap waktu tak segera berlalu dan hujan tak segera redah. Meskipun begitu Aku tetap merasa cemas, Aku takut dia jatuh sakit. Tapi semua sudah terlanjur basah berteduhpun tak berguna lagi. Aku tau dia kuat, dia tak akan kenapa-kenapa.
Entah kenapa setiap bersama, kami lebih banyak diam. Aku tak mengerti, entah itu diantara kami memang tak ada yang berani memulai pembicaraan atau mungkin diantara kami tak ada yang perlu dibahas lagi. Entah seberapa besar dosaku sore itu, Aku bersama kekasih orang lain. Tapi Aku tak ingin membohongi hati bahwa Aku masih mengharapkannya.

      Pertemuan Selanjutnya...

Aku terkejut saat tiba-tiba sore itu pesannya masuk diponselku, ntah yang keberapa kali Dia mengajakku bertemu dan Aku selalu saja punya alasan untuk menolaknya perlahan. Dan ntah kenapa juga sore itu tiba-tiba Aku spontan mengiyakannya, setelah bernegosiasi masalah tempat dan lainnya akhirnya kami memutuskan malam harinya bertemu. Sepanjang jalan kami mengobrol seperti tak terjadi apa-apa, mungkin karena saat itu posisiku sedang membocengnya sehingga wajah kami tidak berhadapan. Aku tak mengerti kenapa Aku selalu gugup jika melihatnya, seolah-olah Aku tak berdaya saat melihat wajahnya. Akhirnya obrolan itu berakhir saat sepeda motorku berhenti disebuah cafe tempat tujuan kami akan menghabiskan waktu malam itu.
Dia memilih tempat dan memesankan makanan, kami mulai duduk. Saat itulah Aku mulai merasakan hal yang tak pernah Aku inginkan, Aku benci saat Aku berhadapan dengannya jantungku seakan tak mau tenang. Mataku tak berani menatap meskipun sekejab, Kau tau ini alasanku tak berani berlama-lama didekatmu, jantungku selalu bermasalah didekatmu dia seakan tak mau tenang berdetak didalam dada.
Aku hanya bisa diam tak menatap tapi aku berfikir Aku tak boleh terus begitu, Aku memberanikan diri memulai sebuah obrolan. Gugup memang, tapi ku coba terus dan akhirnya perlahan obrolan mulai lancar tapi tetap saja mata ini tak bergerak melihat.
”Cukup susah untuk sekedar bertemu “. Ucapnya memulai obrolan.
Saat itu aku bingung harus berkata apa, Aku tak punya jawaban apapun. Apa yang diucapnya semua benar.
“Sekarangkan sudah ketemu”. Jawabku.
“Ia memang, tapi butuh proses yang panjang”. Jawabnya.
Lagi-lagi yang ku lakukan hanya diam. Ntah kenapa berbicara dihadapannya sangat sulit, apalagi menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhananya yang bagiku itu adalah pertanyaan tersulit yang pernah kuterima. Dia terus saja memulai pembicaraan seolah Dia mengerti apa yang Aku rasa saat itu, dan benar lama-lama Aku terbiasa sedikit demi sedikit jantungku mulai normal berdetak. Kami terus saja mengobrol, entah berbagai tema apa yang sudah kami bahas dan tetap saja mata ini tak berani melihatnya. Malampun semakin larut rasa nyaman mulai timbul tapi seakan waktu mengganggu dengan putaran waktu yang seolah-olah disengajanya untuk menyudahi obrolan saat itu. Dengan berat hati kami harus pulang, meskipun Aku sangat ingin berlama-lama saat itu. Sepanjang jalan pulang Aku masih tidak percaya tentang apa yang terjadi hari ini, aku merasa ini hanya mimpi.
Apa ini? Bertahun-tahun Aku berusaha agar Aku bisa terlepas dari fikiran tentang Dia. Bertahun-tahun Aku membuat jarak sejauh mungkin untuk terbebas dari fikiran tentang Dia. Tapi malam ini semua hancur, apa yang terjadi denganku? Sekejab saja luntur semua ambisiku. Ini salah, iya ini salah.

Aku Rasa ini Sudah Cukup

Aku rasa ini sudah cukup, Aku tak bisa terus dekat dengannya. Aku sadar ini salah, Dia punya orang lain. Ada apa denganku?
Aku mengerti dialah orang yang sama sejak awal, Aku tak berani mengungkapkan semuannya. Ini semua sudah berakhir sejak lama, tak boleh terulang.
“Bar, ada kabar baik ni” Tiba-tiba Jodi menghampiriku yang sedang duduk di luar ruang Dekan.
“Kabar apa Di?” Jawabku.
“Ni surat dari akademik” Tiba-tiba Jodi memberi sebuah surat padaku.
Aku membukannya.
“Ini beneran DI?” Tanyaku tidak percaya saat melihat isi surat yang berisi pemberitahuan wisuda di bulan depan.
“Ya benerlah”.
“Alhamdulillah” Aku bersyukur.
Siang itu tak bisa ku gambarkan betapa bahagianya Aku, seaakan 4 tahun yang kulewati terbayar sudah. Hari itu Aku berfikir mungkin inilah saatnya Aku terbebas sepenuhnya dari Gadis itu, Aku sengaja tak memberitahunya karena Aku rasa itu tidak perlu. Aku ingin pergi jauh, dan membiarkan Dia bahagia bersama orang itu yang kini menjadi pasangannya.
Berat memang, tapi Aku tak kalah kuat. Hingga selesai wisudahku Aku sengaja tak memposting foto apapun di media sosialku. Aku sengaja agar seperti tak terjadi apa-apa, kenyataannya ini bukan hal yang mudah saat Aku sedang berproses untuk melupakannya pesan-pesan singkatnya terus saja menghujani ponselku bahkan sesekali Dia menelfonku. Butuh kekuatan batin yang luar biasa untukku mengabaikan semua pesannnya.

Dan akhirnya, Aku ditawari bekerja ditempat yang jauh darinya. Tanpa berfikir panjang langsung menerimanya. Aku berharap aku segera bisa melupakannya, ini memang tak mudah untukku. Biarlah pertemuan-pertemuan sebelumnya ku jadikan sebagai kenangan indah yang pernah terjadi diantara kita. Saat ini giliran Tuhan yang menentukan takdir apa yang akan terjadi pada kita.

Minggu, 04 Februari 2018

"SAJAK SEDERHANA"

Aku tau saat hubungan itu tak pantas diperjuangkan, aku memilih mundur
Aku tau saat cinta itu salah, meskipun kenyataannya tak pernah ada cinta yang salah

Aku pernah menyakitimu dengan pintu-pintu hati yang kututup tiba-tiba
Dan saat itu aku tak pernah memahami bahwa kau begitu terluka

Lantas, benarkah aku mempertahankan bahwa aku tak pernah salah?
Bukankah manusia dilahirkan bersama dengan keegoisan?

Bertanya, apa yang harus ku tanyakan?
Tentang penyesalan?
Kurasa itu tidak perlu.